Sabtu, 28 Desember 2013

Syi'ir Arab



PENDAHULUAN

Secara umum dalam hal ingin menilai keindahan kalimat baik prosa maupun puisi Arab, berarti kita harus mengkaji lebih dalam mengenai seluk beluk bahasa Arab itu   sendiri, dalam hal ini para sastrawan Arab telah menetapkan 13 cabang ilmu yang bertalian dengan bahasa yang disebut dengan "Ulumul Arabiyah" 13 cabang ini mencakup Ilmu L-ughah , Ilmu Nahwu, Ilmu Sarf (morfologi Arab), Ilmu Isytiqaq, Ilmu L-'arudh, Ilmu Qawafi, llmu Qardhus Syi'ri , Ilmu khat, Ilmu Insyak, Ilmu Mukhodarat, Ilmu Badi', Ilmu Bayan, dan Ilmu Ma'ani. Dari ke-13 cabang ilmu yang bertalian dengan bahasa ini penulis akan mencoba mengkaji dari aspek Balaghah-nya (mencakup di sana ilmu Ilmu Badi', Ilmu Bayan, dan Ilmu Ma'ani). Dari sekian banyak ilmu yang berkaitan dengan bahasa tersebut masalah yang dapat diulas dalam makalh sederhana ini adalah bagaimana keberadaan ilmu balaghah sebagai salah satu aspek yang membangun syi`ir Arab.
Berbicara tentang aspek Balaghah dalam Syi`ir Arab ini merupakan kajian yang sangat menarik karena akan menelusuri bagaimana dan sejauh mana seorang penya`ir Arab dapat memainkan Rasa (athifah), imajinasi (al-Khoyal), gagasan (al-fikroh), dan gambaran (shuroh)-nya (yang merupakan empat unsur pokok dalam sebuah karya sastra) dalam menciptakan syi`ir, sehingga karyanya  tersebut  sarat dengan   nilai estetik   yang tinggi di mata para sastrawan yang hidup di masa mereka dan masa sesudahnya.
Adapun metode pendekatan sastra yang digunakan dalam membahas permasalahan bagaimana aspek balaghah dalam syi`ir Arab ini adalah pendekatan intrinsic, dengan teori stilistika (ilmu balaghah), yaitu mengenai uslub balaghah pada qasidah munajat dari segi ma’ani, bayan dan badi’nya.
Untuk meninjau hal yang telah penulis sebutkan di atas maka akan disajikan dalam makalah yang sederhana ini. Mudah-mudahan dapat menjadi bahan perbandingan dan tela`ahan buat kita semua.


A.    Sejarah Munculnya Syi`ir Arab Selayang Pandang

Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi symbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.
Dalam sejarah kesusasteraan Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda dengan Thaha Husein yang menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi.[1] Perkembangan ini baru berkembang dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari pada syair. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (muthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad).
Syair-syair Arab yang terkenal pada zaman jahiliyah adalah syair al-mualaqat yang berbentuk qasidah panjang. Sebagian sastrawan Arab mengatakan bahwa qasidah yang dikodifikasikan oleh Hammad Al-Rawiyah di sebut dengan mu’allaqat, karena ia digantung pada dinding Ka’bah. Hal ini dilakukan karena qasidah tersebut mempunyai nilai-nilai yang agung, penting, dan berharga. Para sastrawan, kririkus sastra, dan sejarawan dalam memberikan penilaian terhadap keshahihan sanad dan matanya karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metode seperti yang dikembangkan para ahli hadits, baik yang terkait dengan sanad atau matan.
Syi’ir Arab itu muncul dan berkembang menuju kesempurnaan mulai dari bentuk ungkapan kata yang besar (mursal) menuju sajak dan dari sajak menuju syi’ir yang berbahar ramal, kemudian menuju syi’ir yang berbahar rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab dikatakan sempurna dan dalam tempo yang cukup lama berkembang menjadi susunan kasidah yang terikat dengan aturan wazan dan qafiah. [2]

B.     Syi`ir Arab
1. Pengertian
Secara etimologis kata ”Syi’ir”                    menurut etimologi, berasal dari kata ”Sya’ara” atau ”Sya’ura”yang berarti `alima wa ahassa bihi (mengetahui dan merasakannya).[3]
Sedangkan secara terminologis para pakar sastera mengemukakan definisi yang beragam mengenai Syi`ir ini sesuai sudut pandang serta objek  mereka masing-masing. Ulama Arudl misalnya mendefinisikan syi`ir sebagai berikut :
”kalimat yang sengaja diungkapkan dalam bentuk  bersajak yang ditimbang (diwazan) .”
Bila ditelusuri lebih jauh defenisi yang digunakan oleh pakar ilmu arudh di atas kelihatannya definisi tersebut tidak  hanya terbatas pada pengertian  saja, melainkan juga mencakup pada pengertian Nazam, yang berada di luar syi`ir. Nazam adalah kalimat yang sengaja diungkapkan dalam bentuk berirama dan bersajak, namun tidak merupakan karya syi`ir yang lahir dari luapan emosi dalam bentuk ungkapan yang imajinatif. Pendefinisian yang demikian agaknya lebih banyak didasarkan pada pertimbangan keinginan mereka untuk menonjolkan bidang yang mereka geluti. Sebagai ahli arudh yang mengkhususkan mengkaji aspek-aspek musikal dari karya syi`ir dalam hal ini adalah wazan dan qafiyah, sudah barang tentu mereka menonjolkan kedua aspek kini ketika mendefinisikan syi`ir.
Definisi lain mengenai syi`ir  ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Asy-Syaayib, syi’ir atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan Qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa.
Ungkapan yang agak senada juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan Az-Zayyat  yang dikutip oleh Mas`an Hamid dalam bukunya Ilmu Arudh dan Qawafi, Ahmad Hasan menyatakan :

” Syi`ir adalah suatu kalimat yang berirama dan bersajak, yang mengungkapkan tentang khayalan yang indah dan juga melukiskan tentang kejadian yang ada.”[5]
Menurut Stadmond (Penya`ir Barat) yang dikutip oleh Drs. Maksum, M.Ag dari Abdul Aziz bin Muhammad Al-Faioshal, menyatakan bahwa Syi`ir itu adalah :

”Bahasa yangmengandung khayalan dan berirama yang mengungkapkan tentang suatu arti dan perasaan serta ide yang timbul dari dalam jiwa seorang penya`ir”[6]
Bila dicermati defenisi di atas kelihatannya lebih menjelaskan kepada hakikat syi`ir itu sendiri dibanding defenisi terdahulu. Pengertian syi`ir dalam beberapa definisi di atas tidak hanya kalimat atau susunan kata yang berirama dan bersajak, melainkan juga merupakan ungkapan imajinatif yang lahir dari gelora perasaan, unsur inilah yang membedakan syi`ir dengan nazam.
C.    Uslub dan  Balaghah
Untuk lebih terarahnya pemahaman kita bagaimana nantinya aspek Balaghah dalam Syi`ir Arab ini, ada baiknya dijelaskan lebih awal apa itu Balaghah ? Orang sering mengidentikkan balaghah ini dengan gaya bahasa seseorang dalam mengungkapkan kata-kata (dalam bahasa Arab dikenal dengan Uslub), penulis kira antara balaghah dengan gaya bahasa ini tidak jauh beda dipandang dari substansi kedua istilah tersebut, yaitu sama-sama merupakan ungkapan kata-kata yang terpilih dan dianggap bagus dan indah untuk menyampaikan ide-ide yang ada dalam fikiran.
1.       Pengertian Uslub
Stilistika atau dalam bahasa Arab dikenal dengan ilm al-uslūb berasal dari kata stile. Kata stile diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian mempergunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka stile lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau menggunakan kata-kata secara indah.
Analisis stilistika biasanya dimaksudkan menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesusastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Disamping itu, ia dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.
2. Pengertian Balaghah
Untuk lebih mengetahui tentang ilmu Balaghah, maka hendaklah diketahui pengertian dari Balaghah. Meskipun pengertian singkat dari komponen ilmu balaghah itu secara singkat dipandang perlu pula untuk mengetengahkan uraian tentang iImu balaghah agar tampak jelas keurgensian (keberadaan) ilmu Balaghah tersebut.

Secara etimologi balaghah adalah :
تنبئ عن الوصول والانتهاء .[7]
“ Sampai  dan berkesudahan”
Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikan balghah ini. Ahmad Assyibi misalnya mendefenisikan sebagaimana berikut:
تكون وصفا للكلام  و المتكلم : فبلاغة الكلام مطابقته لمقتضى الحال , واللحال هو الأمر الداع   للمتكلم إلى أن يميز كلامه بميزة هي مقتضى الحال فإنكار المخاطب للمعنى حال يقتضى أن تأكد له الجملة فتقول : ان محمدا ناجح , وذالك التأكيد هو مقتضى الحال .
“Pendeskripsian  terhadap  terhadap ucapan dan orang yang mengucapkannya: sampainya ucapan sangat berkorelasi dengan situasi dan kondisi ketika dia mengucapkannya, adapun hal (situasi) adalah suatu permasalahan yang menuntut pembicara untuk mengemukakan ucapannya, ketika pendengar salah dalam memaknainya maka hendaklah dikemukakan dengan kalimat yang berisi kata yang menguatkan perkataan  tersebut. Misalnya : “Sungguh Muhammad telah sukses”, dan kata yang menguatkan ucapan itu untuk menyesuaikan terhadap makna yang dimaksud pembicara.”
Ahmad Syayib[8] mendefinisakan balaghah sebagai “Ilmu Balaghah merupakan sebuah  cabang ilmu yang  yang mempelajari kefasihan bicara, yaitu meliputi ilmu ma`ani[9] , bayan[10] dan badi`.”[11]
Dari bebrapa defenisi di  atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Balaghah itu merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan perantara untuk memudahkan bagi setiap orang dalam memahami sebuah makna yang disampaikan oleh penutur. Karena memang dia merupakan metode untuk mengungkapkan bahasa yang indah, mempunyai nilai estetis (keindahan seni), memberikan makna sesuai dengan muktadhal hal (situasi dan kondisi), serta memberikan kesan sangat mendalam bagi pendengar dan pembacanya. seorang penutur itu mengeluarkan ucapannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu. Meskipun dia  mengungkapkan dengan berbagai   gaya  bahasa namun kalau pendengar melihat situasi dan kondisi pada saat itu maka  dia kan mengetahui makna   yang dimaksud oleh  ungkapan si penutur tersebut.
Ungkapan yang mempunyai nilai sastra tinggi telah lama dimiliki oleh orang orang Arab, bahkan sebelum tersebarnya agama Islam, tidak mengherankan dari keindahan bahasa membuat mereka terkesima mendengarkan ayat-ayat suci AI-Quran dan bahasa Hadist.

D.    Aspek Balaghah Dalam Syi`ir Arab
Sebagaimana yang  telah disebutkan di awal tadi  bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang sejak zaman kuno telah tertarik dengan kata-kata indah yang dilantunkan oleh para penya`ir, sehingga ketika islam datang dengan membawa kitab Al-Qur`an yang mengandung lafaz yang begitu indah, penduduk Arab terkesima mendengar dan membaca ayat-demi ayat dari al-Qur`an tersebut. Para penya`ir yang tadinya terkenal ketika  pra-Islam bertekuk lutut pada al-Qur`an karena tidak mampu menandingi kehalusan dan keindahan sususan kata demi kata dari ayat al-Qur`an tersebut.
Setelah datangnya Alqur`an ini banyak para penya`ir yang mengikuti dan meniru kata-katanya dalam menciptakan sy`ir mereka. Sehingga muncullah di awal Islam itu syi`ir yang bergaya bahasa Alqur`an dan Hadits Nabi SAW. Disana telah tercakup keseluruhan tatanan bahasa arab, baik dari segi Nahu sharafnya, balaghah, mantiqnya, dan lain-lain. Namun dalam makalah ini akan kita jelaskan bagaimana balagahah ini memberi suatu makna tersendiri bagi syi`ir Arab.
Dalam menjelaskan aspek balaghah dalam syi`ir ini perlu berpegang kepada konsep kritik sastra. Karena memang kritik sastra ini merupakan suatu metode yang menjadi wasilah (perantara) untuk dapat memahami sebuah  karya sastra. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sukron Kamil dalam bukunya Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern bahwa kritik sastra (dalam istilah Arabnya naqd adab)  adalah mengkaji terhadap karya sastra yang menganalisis dan menjelaskannya agar bisa difahami dan dinikmati pembaca dan kemudian menilainya secara objektif.[12] Kritik sastra juga diartikan sebagai penilaian yang benar yang beranjak dari pemikiran yang baik dan indah dalam aktifitas sastra, yang dengan pemikiran indah itu kita dapat menilai suatu karya sastra itu bagus atau tidaknya.[13]
Untuk melihat bagaimana aspek balaghah dalam syi`ir Arab ini kita akan memandangnya dari sisi kajian balagahah itu sendiri, yaitu dari sisi ilmu Ma`ani, bayan, dan badi`.
  1. Dari  Sisi Ilmu Ma`ani
Di atas telah kita jelaskan bahwa Ilmu ma`ani itu adalah ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal (situasi dan kondisi).[14] Dari defenisi ini bebarti yang tergambar sekarang dalam fikiran kita adalah syi`ir arab itu muncul sesuai dengan situasi dan kondisi yang menuntut para penya`ir saat itu untuk melantunkan sya`ir-sya`irnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hippoyte Taine (1766-1817), seorang kritikus Naturalis Prancis, menurutnya karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manuisa dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan alam, iklim, dan sosial).[15]
Dalam khazanah sastra Arab, kritikus sastra yang pandangannya hampir sama atau bahkan dipengaruhi Hippoyte Taine adalah Ahmad As-Syayib (kritikus Arab abad ke-20). Menurutnya faktor yang  mempengaruhi sastra adalah tempat tinggal sastrawannya, zaman dimana dia hidup, etnisitas, kontak dengan bangsa lain, agama, keadaan politik, dan lainnya seperti kritik dari kritikus.[16]
Contoh syi`ir yang dipandang dari sisi Ilmu Ma`ani ini adalah sy`ir yang dialunkan oleh Nur ad-Din Darweis (seorang penya`ir di abad 21):




”Di abad ke-21
Aku  melihat negeriku dijual dipasaran
Dan aku melihat sebuah bangsa yang dihempas oleh gelombang
Tanpa mampu berjalan
kebodohan, rasa takut yang selalu menyelimuti manusia yang sedang kelaparan
dan aku melihat dan berkeliling di antara manusia bernafas dari muka yang tidak tergores.”
Dalam syi`ir ini terlihat  bagaimana Darweis menggambarkan realita negerinya (Palestina) pada saat itu, kerusakan moral dan sosial serta budaya yang dia gambarkan dalam ungkapannya "ku lihat negeriku terjual di pasaran”.
Syi`ir ini dia ungkapkan ketika memang pada saat itu negeri palestina berada dalam krisis, baik itu krisis moral, sosial, politik, dan hampir memasuki titik kehancuran. Ini semua terjadi setelah invansi Israel ke negeri termulia dalam urutan yang ketiga setelah Makkah dan Madinah ini (Palestina).  Darweis  yang menggambarkan realita ini dalam syi`irnya akan mudah difahami oleh manusia secara umum karena memang ia sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu (muqtadha al-haal).
2.      Dari Sisi Ilmu Bayan
Ilmu bayan merupakan Ilmu untuk mengetahui bagaiman  mendatangkan sebuah arti dengan cara  atau gaya bahasa yang berbeda dalam menjelaskan makna sesuatu  yang dimaksud.
Dalam ilmu bayan ada tiga hal pokok yang menjadi kajiannya yaitu:[17]
a.       at-Tasybih yaitu menjelaskan bahwa satu hal atau banyak hal yang tergabung dengan hal lain dalam satu sifat atau lebih, dengan cara mendatangkan huruf kaf () dan lainnya, dan didekatkan maknanya antara yang diserupakan (musyabbah bih) dengan yang menyerupakan (Musyabbah) oleh hal yang mendekatkan sifat musyabbah dengan musyabbah bih-nya (wajah syabah) .
contoh syi`ir Arab yang menggunakan tasybih (perumpamaan) ini seperti syi`ir yang dilantunkan oleh Umru al-Qais ketika menggambarkan Unaizah, seorang wanita cantik yang sangat ia cintai, dalam ungkapannya:








”ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan dan sampai di tempat yang aman dari intain orang kampung,
maka aku tarik kepalanya hingga ia (Khunaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak
wanita itu langsing , perutnya ramping, dadanya putih laksana kaca
lehernya berjenjang laksana leher kijang, jika dipanjangkan tidak terlihat cacat sedikitpun, karena lehernya dipenuhi oleh permata,
rambutnya yang panjang dan hitam apabila terurai di bahunya maka rambut itu laksana mayang kurma.”

Dalam syi`ir ini Umru al-Qais menggambarkan Unaizah dalam ungkapan perumpamaan yang begitu indah dan menarik, yang sekiranya didengar oleh Unaizah dia akan merasa bangga dan terayu dengan ungkapan tadi.
Contoh lain seperti syi`ir Bukhturi berikut:


” sunguh aku berjalan dengan menaiki bintang hingga tenggelam dengan mantra laksana taburan bintang,
Dan malam ketika tenggelam, seolah-olah dia merupakan malam yang sangat gelap meskipun tidak ada suara koaknya burung gagak.”

Dalam syi`irnya ini Al-Bukhturi menggambarkan malam itu ketika telah gelap laksan tidak ada cahaya, semua bumi ini diliputi wana hitam karena gelapnya, ditambah lagi dengan ungkapanya wa in lam yan`ab (meskipun tidak ada suara koaknya burung  gagak), memang biasanya malam itu sering terdngar suar burung gagak, tapi untuk malam itu semua hening, sunyi dan penuh kegelapan.

b.      al-Majaz yaitu lafaz yang digunakan untuk menunjukkan atau menerangkan di luar yang tertulis karena adanya korelasi dan indikasi yang menyimpangkannya dari makna yang sebenarnya. [20]
contoh syi`ir yang berbentuk majaz ini seperti ungkapan Ibnu al-`Amid dalam lantunan syi`irnya:


”Telah berdiri menaungiku dari terik matahari, seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri
ia telah menungiku amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.”
ketika kita perthatikan ungkapan syi`ir di atas, kita akan melihat adanya kata asy-Sayamsu yang dipakai dengan dua makna ; pertama adalah makna hakiki yaitu matahari yang selalu memancarkan sinarnya di siang hari sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua adalah orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai cemerlangnya sinar matahari. Ketiak kita perhatikan lagi kita akan menemui kaitan antara makna pertama yang hakiki dengan makna kedua yang meruipakan makna majazi.
Kaitan dengan hubungan makna tersebut disebut dengan musybahah (saling menyerupai) karena seorang yang bercahaya wajahnya itumenyerupai matahari yang memancarkan cahaya. Hal ini kita dapat simpulkan karena adanya qarinah pada lafaz tuzalliluni yang menghalangi kemungkinan makna yang dikehendaki adalah makna hakiki.
Contoh lain  seperti syi`ir Al-Bukhturi dalam mensifati duel antara Fath bin Khaqan dengan seekor singa :


”aku belum pernah melihat perkelahian dua singa yang lebih sungguh-sungguh darpada kamu berdua (Fath dan Singa), ketika orang-orang penakut dan lemah itu tidak berani menghadapinya
singa lawan singa, yaitu singa dari kaum bertarung melawan singa sungguhan , dan ia dapat mengalahkannya.”
Dalam syi`ir Bukhturi ini kita melihat adanya kata hizabrun yang juga memiliki dua buah makna; makna pertama berarti makna hakiki yaitu singa sebagiman yang kita kenal, makna kedua adalah orang yang pemberani. Makna kedua ini dapat kita peroleh karena adanya qarinah yang menunjukkan bahwa itu bukanlah makna hakiki yaitu lafadz min al-qaum yang menunjukkan bahwa maknanya adalah orang yang pemberani.

c.       al-Kinayah yaitu menginginkan sebuah makna akan tetepi mengungkapkannya dengan lafazd yang sebenarnya bukan makna hakkiki lafadz itu tujuannya.[23]
Contohnya Al-Khansa[24] berkata tentangsaudara laki-lakinya, Shakhr:


ia adlaah orang yang panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi, dan banyak abu dapurnya bila ia bermukim.”[25]

  1. Dari Sisi Ilmu Badi`
Ilmu Badii’ adalah ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.[26]
Dari segi ilmu badi` ini akan dikemukakan bebrapa syi`ir Arab yang berkenaan dengannya, agar kita lebih mendekati pemahaman dan pembuktian bahwa syi`ir Arab itu banyak juga yang mengandung kajian ilmu badi` di dalamnya. Sebagai contoh seperti syi`ir yang menunjukkan suatu ratapan terhadap anak kecil yang bernama Yahya:


dan aku memberinya nama Yahya agar dia senantiasa hidup, namun tidak ada jalan untuk menolak perintah Allah padanya”[27]

Dalam syi`ir di atas kita temui dua buah kata yang sebenarnya memiliki makna yang berbeda, yaitu kata yahya yang berarti seorang anak yang bernama Yahya dan kata  liyahya yang bermakna merupakan harapan dan do`a agar anak yang bernama Yahya tadi tetap hidup.
Dalam kajian ilmu badi` yang sama persis macam hurufnya, syakalnya (baris hurufnya), jumlahnya (ismiyah atau fi`liyah), dan urutannya disebur sebagai jinas taam (kemiripan yang sempurna), bertolak belakang dengan jinas ghairu taam yaitu perbedaan dua buah kata dalam salah satu dari empat hal tersebut. Kita lihat lagi dalam contoh dia atas dia merupakan bagian dari jinas taam karena persis sama antara huruf, syakal, dan  jumlahnya.
Contoh lain seperti Al-Khunsa` meratapi saudaranya Sakhr dengan kasidahnya dalam potongan berikut:


”sesungguhnya tangisan itu obat bagi kesedihan mendalam yang terdapat di antar tulang rusuk”

Dari contoh ini kita melihat ada dua buah kata yang agak berdekatan, yaitu kata jawa yang memiliki makna kesedihan yang mendalam dan kata jawaanih yang bermakna tulang rusuk. Dari dua kata ini merupakan contoh dari jinas ghairu taam, karena adanya perbedaan dari segi macam hurufnya, dan jumlahnya.


A.    Kesimpulan
Melantunkan syi`ir merupakan suatu kebiasaan yang nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan bangsa Arab, karena memang mereka sangat suka melantunkan syi`ir dan telah menjadi suatu kebiasaan yang bersifat  tradisional  karena dipengaruhi oleh lingkungan hidup dan kehidupan mereka serta bahasa mereka yang puitis dan lisan mereka yang fasih.
Tidak diragukan lagi dengan kefasihan dan keindahan bahasa mereka kita aklan menemukan berbagai uslub (gaya bahasa) syi`ir mereka yang berbentuk majazi, perumpamaan-perumpamaan, kata-kata sindiran, dan berbagai gaya bahasa yang masuk ke dalam kategori kajian ilmu balaghah. Hal ini terlihat seperti dalam syi`rnya Al-Khunsa`, Ibnu Al-`Amid, Al-Bukhturi, dan lainnya yang merupakan penya`ir-penyai`r yang terkenal pada masa mereka.


[2]  Mas’an Hamid, yang dikutib dari Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Jawahirul Adab, juz II, DArul-Fikri, cet. ke 26, Mesir, 1965, hal.24
[3] Ibid, hal. 10
[4] Ali bin Muhammad bin Ali Aljurjani, at-Ta`rifaat, (Beirut: Dar Alkitaab al-`Arabi, 1992), hal. 162
[5] Mas`an Hamid, Ilmu Arudl dan qawafi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hal 11
[6] Maksum, Pengaruh Islam Terhadap Sastra Arab: Studi Analisis Terhadap Syi`ir Hassan Bin Tsabit, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hal. 18
[7] Ahmad Asyayib, Alusluub: Kajian Analisis Balaghah ter hadap dasar gaya bahasa sastra, cet.  Ke- 8, (Maktabah Nahdhah Al-Mishriyah, Kairo: 1990), hal.19
[8] Imam Akhdori, Alih Bahasa oleh H. Moch Anwar,  Ilmu Balaghah: Tarjamah Jauharu Al-Maknuun,Cet I,  (PT Alma`arif, Subang: 1982), hal 17
[9] Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.
[10] Secara bahasa Ilmu Bayan  berarti jelas, terang, nyata. Sedangkan secara terminologi Ilmu Bayan diartikan sebagimana berikut:

علم يقواعد تعرف يها طرق إيراد المعنى الواحد بطرق أو أساليب مختلفة في وضوح الدلالة  على ذالك  المعنى .
 ”Ilmu untuk mengetahui untuk mendatangkan sebuah arti dengan cara  atau gaya bahasa yang berbeda dalam menjelaskan makna sesuatu  yang dimaksud.”

[11] Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.

[12] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Hal.52.
[13] Ahmad Busyrawi , Madkhal Ila Manahij an-Naqdi al-Adabi (Padang:Haifa Pers, 2009), hal.73
[14] Abdurrahman Al-Ahdhari,  Jauhar al-Maknuun, (Surabaya: Maktab al-Hiadyah, t.th), hal 30
[15] Sukron Kamil, Op.Cit., hal. 113-  114.
[16] Ibid , hal. 114. dari berbagai factor inilah banyak kita lihat syi`ir ataupun prosa yang muncul untuk menggambarkan bagaimana keadaan alam tempat dia tinggal, menggambarkan keadaan sosial-budaya, pujian terhadapa rajanya, pujian terhadapa kepahlawanan seseoranga, dan lain-lain……
[17] Arnisma Agus, al-Balaghah al-Muyassarah : Ilmu Bayan (Padang: Disusun  oleh Pusat Kajian Ilmu Balaghah Fakultas Adab IAIAN Imam Bonjol Padang, 2009) hal. 11
[18] Abi Abdillah al-Husain bin Ahmad bin Huzain al-Zuwazni, Syarah Mu`allaqat as-Sab`ah, (Libanon: Dar Kitab al-`Alamiyah, 1978), hal 14-16
[19]  Ahmad Al-Iskandari, dkk, Alwasith Fi al-Adab al-`Arabi Wa Tarikhuhu, (T.p: Dar al-Ma`arif, 1978), hal267
[20] Jawahir al-Balaghah, hal. 302
[21] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan oleh  Mujiyo Nurkhalis dkk , cet ke-7 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hal 92
[22] Ibid, hal. 92
[23] Arnisma Agus, Op.Cit. hal 97
[24] Al-Khansa adalah Tumadhir binti Amr, masuk islam bersama kaumnya, wafat pada tahun 54 H.
[25] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan oleh  Mujiyo Nurkhalis dkk , Op.Cit., hal 173
[27] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan oleh  Mujiyo Nurkhalis dkk , Op.Cit., hal. 378

Tidak ada komentar:

Posting Komentar