PENDAHULUAN
Secara umum dalam hal ingin menilai keindahan kalimat
baik prosa maupun puisi Arab, berarti kita harus mengkaji lebih dalam mengenai
seluk beluk bahasa Arab itu sendiri,
dalam hal ini para sastrawan Arab telah menetapkan 13 cabang ilmu yang
bertalian dengan bahasa yang disebut dengan "Ulumul Arabiyah"
13 cabang ini mencakup Ilmu L-ughah , Ilmu Nahwu, Ilmu Sarf (morfologi
Arab), Ilmu Isytiqaq, Ilmu L-'arudh, Ilmu Qawafi, llmu Qardhus Syi'ri , Ilmu
khat, Ilmu Insyak, Ilmu Mukhodarat, Ilmu Badi', Ilmu Bayan, dan Ilmu Ma'ani.
Dari ke-13 cabang ilmu yang bertalian dengan bahasa ini penulis akan mencoba
mengkaji dari aspek Balaghah-nya (mencakup di sana ilmu Ilmu Badi', Ilmu Bayan, dan Ilmu
Ma'ani). Dari sekian banyak ilmu yang berkaitan
dengan bahasa tersebut masalah yang dapat diulas dalam makalh sederhana ini
adalah bagaimana keberadaan ilmu balaghah sebagai salah satu aspek yang
membangun syi`ir Arab.
Berbicara tentang aspek Balaghah dalam Syi`ir
Arab ini merupakan kajian yang sangat menarik karena akan menelusuri bagaimana
dan sejauh mana seorang penya`ir Arab dapat memainkan Rasa (athifah), imajinasi
(al-Khoyal), gagasan (al-fikroh), dan gambaran (shuroh)-nya (yang merupakan
empat unsur pokok dalam sebuah karya sastra) dalam menciptakan syi`ir, sehingga
karyanya tersebut sarat dengan
nilai estetik yang tinggi di
mata para sastrawan yang hidup di masa mereka dan masa sesudahnya.
Adapun
metode pendekatan sastra yang digunakan dalam membahas permasalahan bagaimana aspek balaghah dalam syi`ir
Arab ini adalah pendekatan intrinsic, dengan teori
stilistika (ilmu balaghah), yaitu mengenai uslub balaghah pada qasidah munajat
dari segi ma’ani, bayan dan badi’nya.
Untuk meninjau hal yang telah penulis sebutkan di atas
maka akan disajikan dalam makalah yang sederhana ini. Mudah-mudahan dapat menjadi bahan perbandingan dan
tela`ahan buat kita semua.
A. Sejarah Munculnya Syi`ir Arab Selayang
Pandang
Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang
menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi symbol
kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa
atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku.
Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila
berasal dari keturunan yang terhormat. Dua jenis pengetahuan ini banyak
tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.
Dalam sejarah kesusasteraan
Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat
dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda
dengan Thaha Husein yang menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari
pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi.[1] Perkembangan ini baru berkembang dengan
perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah
dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari
pada syair. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (muthlaq),
sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad).
Syair-syair Arab yang terkenal
pada zaman jahiliyah adalah syair al-mualaqat yang berbentuk qasidah
panjang. Sebagian sastrawan Arab mengatakan bahwa qasidah yang dikodifikasikan
oleh Hammad Al-Rawiyah di sebut dengan mu’allaqat, karena ia digantung
pada dinding Ka’bah. Hal ini dilakukan karena qasidah tersebut mempunyai
nilai-nilai yang agung, penting, dan berharga. Para sastrawan, kririkus sastra,
dan sejarawan dalam memberikan penilaian terhadap keshahihan sanad dan matanya
karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metode seperti yang
dikembangkan para ahli hadits, baik yang terkait dengan sanad atau matan.
Syi’ir Arab itu muncul dan
berkembang menuju kesempurnaan mulai dari bentuk ungkapan kata yang besar
(mursal) menuju sajak dan dari sajak menuju syi’ir yang berbahar ramal,
kemudian menuju syi’ir yang berbahar rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab
dikatakan sempurna dan dalam tempo yang cukup lama berkembang menjadi susunan
kasidah yang terikat dengan aturan wazan dan qafiah. [2]
B. Syi`ir Arab
1. Pengertian
Secara
etimologis kata ”Syi’ir”
menurut etimologi, berasal dari kata ”Sya’ara” atau ”Sya’ura”yang
berarti `alima wa ahassa bihi
(mengetahui dan merasakannya).[3]
Sedangkan secara terminologis para pakar
sastera mengemukakan definisi yang beragam mengenai Syi`ir ini sesuai sudut
pandang serta objek mereka
masing-masing. Ulama Arudl misalnya mendefinisikan syi`ir sebagai berikut :
”kalimat
yang sengaja diungkapkan dalam bentuk
bersajak yang ditimbang (diwazan) .”
Bila ditelusuri lebih jauh defenisi yang
digunakan oleh pakar ilmu arudh di atas kelihatannya definisi tersebut
tidak hanya terbatas pada pengertian saja, melainkan juga mencakup pada pengertian
Nazam, yang berada di luar syi`ir. Nazam adalah kalimat yang sengaja
diungkapkan dalam bentuk berirama dan bersajak, namun tidak merupakan karya syi`ir yang lahir dari luapan emosi
dalam bentuk ungkapan yang imajinatif. Pendefinisian yang demikian agaknya
lebih banyak didasarkan pada pertimbangan keinginan mereka untuk menonjolkan
bidang yang mereka geluti. Sebagai ahli arudh yang mengkhususkan mengkaji
aspek-aspek musikal dari karya syi`ir dalam hal ini adalah wazan dan qafiyah, sudah
barang tentu mereka menonjolkan kedua aspek kini ketika mendefinisikan syi`ir.
Definisi lain mengenai syi`ir ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad
Asy-Syaayib, syi’ir atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki
wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan Qafiyah (rima
akhir atau kesesuaian akhir baris) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang
harus lebih dominan dibanding prosa.
Ungkapan yang agak senada juga dikemukakan
oleh Ahmad Hasan Az-Zayyat yang dikutip
oleh Mas`an Hamid dalam bukunya Ilmu
Arudh dan Qawafi, Ahmad Hasan menyatakan :
”
Syi`ir adalah suatu kalimat yang berirama dan bersajak, yang mengungkapkan
tentang khayalan yang indah dan juga melukiskan tentang kejadian yang ada.”[5]
Menurut Stadmond (Penya`ir Barat) yang
dikutip oleh Drs. Maksum, M.Ag dari Abdul Aziz bin Muhammad Al-Faioshal,
menyatakan bahwa Syi`ir itu adalah :
”Bahasa
yangmengandung khayalan dan berirama yang mengungkapkan tentang suatu arti dan
perasaan serta ide yang timbul dari dalam jiwa seorang penya`ir”[6]
Bila dicermati defenisi di atas
kelihatannya lebih menjelaskan kepada hakikat syi`ir itu sendiri dibanding
defenisi terdahulu. Pengertian syi`ir dalam beberapa definisi di atas tidak
hanya kalimat atau susunan kata yang berirama dan bersajak, melainkan juga
merupakan ungkapan imajinatif yang lahir dari gelora perasaan, unsur inilah
yang membedakan syi`ir dengan nazam.
C. Uslub dan Balaghah
Untuk lebih terarahnya pemahaman kita bagaimana
nantinya aspek Balaghah dalam Syi`ir Arab ini, ada baiknya dijelaskan lebih
awal apa itu Balaghah ? Orang sering mengidentikkan balaghah ini dengan gaya
bahasa seseorang dalam mengungkapkan kata-kata (dalam bahasa Arab dikenal
dengan Uslub), penulis kira antara
balaghah dengan gaya bahasa ini tidak jauh beda dipandang dari substansi kedua
istilah tersebut, yaitu sama-sama merupakan ungkapan kata-kata yang terpilih
dan dianggap bagus dan indah untuk menyampaikan ide-ide yang ada dalam fikiran.
1.
Pengertian Uslub
Stilistika atau dalam bahasa Arab dikenal
dengan ilm al-uslūb berasal dari kata stile. Kata stile diturunkan
dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
lempengan lilin. Keahlian mempergunakan alat ini akan mempengaruhi jelas
tidaknya tulisan. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian
untuk menulis indah, maka stile lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian
untuk menulis atau menggunakan kata-kata secara indah.
Analisis
stilistika biasanya dimaksudkan menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam
dunia kesusastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
artistik dan maknanya. Disamping itu, ia dapat juga bertujuan
untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu
memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda
linguistik untuk memperoleh efek khusus.
2. Pengertian Balaghah
Untuk lebih mengetahui tentang ilmu Balaghah, maka hendaklah diketahui
pengertian dari Balaghah. Meskipun pengertian singkat dari komponen ilmu
balaghah itu secara singkat dipandang perlu pula untuk mengetengahkan uraian
tentang iImu balaghah agar tampak jelas keurgensian (keberadaan) ilmu Balaghah
tersebut.
Secara
etimologi balaghah adalah :
تنبئ عن الوصول والانتهاء .[7]
“ Sampai dan berkesudahan”
Sedangkan secara
terminologi para ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikan balghah ini.
Ahmad Assyibi misalnya mendefenisikan sebagaimana berikut:
تكون وصفا للكلام و المتكلم : فبلاغة الكلام مطابقته لمقتضى
الحال , واللحال هو الأمر الداع للمتكلم
إلى أن يميز كلامه بميزة هي مقتضى الحال فإنكار المخاطب للمعنى حال يقتضى أن تأكد
له الجملة فتقول : ان محمدا ناجح , وذالك التأكيد هو مقتضى الحال .
“Pendeskripsian terhadap
terhadap ucapan dan orang yang mengucapkannya: sampainya ucapan sangat
berkorelasi dengan situasi dan kondisi ketika dia mengucapkannya, adapun hal
(situasi) adalah suatu permasalahan yang menuntut pembicara untuk mengemukakan
ucapannya, ketika pendengar salah dalam memaknainya maka hendaklah dikemukakan
dengan kalimat yang berisi kata yang menguatkan perkataan tersebut. Misalnya : “Sungguh Muhammad telah
sukses”, dan kata yang menguatkan ucapan itu untuk menyesuaikan terhadap makna
yang dimaksud pembicara.”
Ahmad Syayib[8]
mendefinisakan balaghah sebagai “Ilmu Balaghah merupakan sebuah cabang ilmu yang yang mempelajari kefasihan bicara, yaitu
meliputi ilmu ma`ani[9] , bayan[10] dan badi`.”[11]
Dari bebrapa
defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa
Ilmu Balaghah itu merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan perantara untuk
memudahkan bagi setiap orang dalam memahami sebuah makna yang disampaikan oleh
penutur. Karena memang dia merupakan metode untuk
mengungkapkan bahasa yang indah, mempunyai nilai estetis (keindahan seni),
memberikan makna sesuai dengan muktadhal hal (situasi dan kondisi),
serta memberikan kesan sangat mendalam bagi pendengar dan pembacanya. seorang
penutur itu mengeluarkan ucapannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang
terjadi pada saat itu. Meskipun dia
mengungkapkan dengan berbagai gaya bahasa namun kalau pendengar melihat situasi
dan kondisi pada saat itu maka dia kan
mengetahui makna yang dimaksud oleh ungkapan si penutur tersebut.
Ungkapan
yang mempunyai nilai sastra tinggi telah lama dimiliki oleh orang orang Arab,
bahkan sebelum tersebarnya agama Islam, tidak mengherankan dari keindahan
bahasa membuat mereka terkesima mendengarkan ayat-ayat suci AI-Quran dan bahasa
Hadist.
D. Aspek Balaghah Dalam Syi`ir Arab
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tadi bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang sejak
zaman kuno telah tertarik dengan kata-kata indah yang dilantunkan oleh para
penya`ir, sehingga ketika islam datang dengan membawa kitab Al-Qur`an yang
mengandung lafaz yang begitu indah, penduduk Arab terkesima mendengar dan
membaca ayat-demi ayat dari al-Qur`an tersebut. Para penya`ir yang tadinya
terkenal ketika pra-Islam bertekuk lutut
pada al-Qur`an karena tidak mampu menandingi kehalusan dan keindahan sususan
kata demi kata dari ayat al-Qur`an tersebut.
Setelah datangnya Alqur`an ini banyak para
penya`ir yang mengikuti dan meniru kata-katanya dalam menciptakan sy`ir mereka.
Sehingga muncullah di awal Islam itu syi`ir yang bergaya bahasa Alqur`an dan
Hadits Nabi SAW. Disana telah tercakup keseluruhan tatanan bahasa arab, baik
dari segi Nahu sharafnya, balaghah, mantiqnya, dan lain-lain. Namun dalam
makalah ini akan kita jelaskan bagaimana balagahah ini memberi suatu makna
tersendiri bagi syi`ir Arab.
Dalam menjelaskan aspek balaghah dalam
syi`ir ini perlu berpegang kepada konsep kritik
sastra. Karena memang kritik sastra ini merupakan suatu metode yang menjadi
wasilah (perantara) untuk dapat
memahami sebuah karya sastra.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sukron Kamil dalam bukunya Teori Kritik Sastra
Arab Klasik dan Modern bahwa kritik sastra (dalam istilah Arabnya naqd adab) adalah mengkaji terhadap karya sastra yang
menganalisis dan menjelaskannya agar bisa difahami dan dinikmati pembaca dan
kemudian menilainya secara objektif.[12]
Kritik sastra juga diartikan sebagai penilaian yang benar yang beranjak dari
pemikiran yang baik dan indah dalam aktifitas sastra, yang dengan pemikiran
indah itu kita dapat menilai suatu karya sastra itu bagus atau tidaknya.[13]
Untuk melihat bagaimana aspek balaghah
dalam syi`ir Arab ini kita akan memandangnya dari sisi kajian balagahah itu
sendiri, yaitu dari sisi ilmu Ma`ani,
bayan, dan badi`.
- Dari Sisi Ilmu Ma`ani
Di atas telah kita jelaskan bahwa Ilmu
ma`ani itu adalah ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan
maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal (situasi dan kondisi).[14]
Dari defenisi ini bebarti yang tergambar sekarang dalam fikiran kita adalah
syi`ir arab itu muncul sesuai dengan situasi dan kondisi yang menuntut para
penya`ir saat itu untuk melantunkan sya`ir-sya`irnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hippoyte Taine (1766-1817), seorang kritikus Naturalis Prancis,
menurutnya karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang
diwarisi manuisa dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial politik pada
masanya), dan lingkungan (keadaan alam, iklim, dan sosial).[15]
Dalam khazanah sastra Arab, kritikus
sastra yang pandangannya hampir sama atau bahkan dipengaruhi Hippoyte Taine
adalah Ahmad As-Syayib (kritikus Arab abad ke-20). Menurutnya faktor yang mempengaruhi sastra adalah tempat tinggal
sastrawannya, zaman dimana dia hidup, etnisitas, kontak dengan bangsa lain,
agama, keadaan politik, dan lainnya seperti kritik dari kritikus.[16]
Contoh syi`ir yang dipandang dari sisi
Ilmu Ma`ani ini adalah sy`ir yang dialunkan oleh Nur ad-Din Darweis (seorang
penya`ir di abad 21):
”Di abad ke-21
Aku
melihat negeriku dijual dipasaran
Dan aku melihat sebuah bangsa yang
dihempas oleh gelombang
Tanpa mampu berjalan
kebodohan, rasa takut yang selalu
menyelimuti manusia yang sedang kelaparan
dan aku melihat dan berkeliling di antara
manusia bernafas dari muka yang tidak tergores.”
Dalam syi`ir ini terlihat bagaimana Darweis menggambarkan realita
negerinya (Palestina) pada saat itu, kerusakan moral dan sosial serta budaya
yang dia gambarkan dalam ungkapannya "ku
lihat negeriku terjual di pasaran”.
Syi`ir ini dia ungkapkan ketika memang
pada saat itu negeri palestina berada dalam krisis, baik itu krisis moral,
sosial, politik, dan hampir memasuki titik kehancuran. Ini semua terjadi
setelah invansi Israel ke negeri termulia dalam urutan yang ketiga setelah
Makkah dan Madinah ini (Palestina).
Darweis yang menggambarkan
realita ini dalam syi`irnya akan mudah difahami oleh manusia secara umum karena
memang ia sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu (muqtadha al-haal).
2.
Dari Sisi Ilmu Bayan
Ilmu bayan merupakan Ilmu untuk mengetahui bagaiman mendatangkan sebuah arti dengan cara atau gaya bahasa yang berbeda dalam
menjelaskan makna sesuatu yang dimaksud.
Dalam ilmu bayan ada tiga hal pokok yang menjadi
kajiannya yaitu:[17]
a.
at-Tasybih yaitu menjelaskan bahwa satu
hal atau banyak hal yang tergabung dengan hal lain dalam satu sifat atau lebih,
dengan cara mendatangkan huruf kaf (ﻙ) dan lainnya, dan didekatkan
maknanya antara yang diserupakan (musyabbah
bih) dengan yang menyerupakan (Musyabbah)
oleh hal yang mendekatkan sifat musyabbah
dengan musyabbah bih-nya (wajah syabah) .
contoh syi`ir Arab yang menggunakan tasybih (perumpamaan)
ini seperti syi`ir yang dilantunkan oleh Umru al-Qais ketika menggambarkan
Unaizah, seorang wanita cantik yang sangat ia cintai, dalam ungkapannya:
”ketika kami
berdua telah lewat dari perkampungan dan sampai di tempat yang aman dari intain
orang kampung,
maka aku tarik
kepalanya hingga ia (Khunaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon
yang lunak
wanita itu
langsing , perutnya ramping, dadanya putih laksana kaca
lehernya
berjenjang laksana leher kijang, jika dipanjangkan tidak terlihat cacat
sedikitpun, karena lehernya dipenuhi oleh permata,
rambutnya yang
panjang dan hitam apabila terurai di bahunya maka rambut itu laksana mayang
kurma.”
Dalam syi`ir ini Umru al-Qais menggambarkan Unaizah dalam
ungkapan perumpamaan yang begitu indah dan menarik, yang sekiranya didengar
oleh Unaizah dia akan merasa bangga dan terayu dengan ungkapan tadi.
Contoh lain seperti syi`ir Bukhturi berikut:
” sunguh aku
berjalan dengan menaiki bintang hingga tenggelam dengan mantra laksana taburan
bintang,
Dan malam ketika
tenggelam, seolah-olah dia merupakan malam yang sangat gelap meskipun tidak ada
suara koaknya burung gagak.”
Dalam syi`irnya ini Al-Bukhturi menggambarkan malam itu
ketika telah gelap laksan tidak ada cahaya, semua bumi ini diliputi wana hitam
karena gelapnya, ditambah lagi dengan ungkapanya wa in lam yan`ab (meskipun tidak ada suara koaknya burung gagak), memang biasanya malam itu sering
terdngar suar burung gagak, tapi untuk malam itu semua hening, sunyi dan penuh
kegelapan.
b.
al-Majaz yaitu lafaz yang digunakan
untuk menunjukkan atau menerangkan di luar yang tertulis karena adanya korelasi
dan indikasi yang menyimpangkannya dari makna yang sebenarnya. [20]
contoh syi`ir yang berbentuk majaz ini seperti ungkapan
Ibnu al-`Amid dalam lantunan syi`irnya:
”Telah berdiri
menaungiku dari terik matahari, seorang yang lebih aku cintai daripada diriku
sendiri
ia telah
menungiku amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik
matahari.”
ketika kita perthatikan ungkapan syi`ir di atas, kita
akan melihat adanya kata asy-Sayamsu yang dipakai dengan dua makna ; pertama
adalah makna hakiki yaitu matahari yang selalu memancarkan sinarnya di siang
hari sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua adalah orang yang
bercahaya wajahnya, yang menyerupai cemerlangnya sinar matahari. Ketiak kita
perhatikan lagi kita akan menemui kaitan antara makna pertama yang hakiki
dengan makna kedua yang meruipakan makna majazi.
Kaitan dengan hubungan makna tersebut disebut dengan musybahah (saling menyerupai) karena
seorang yang bercahaya wajahnya itumenyerupai matahari yang memancarkan cahaya.
Hal ini kita dapat simpulkan karena adanya qarinah
pada lafaz tuzalliluni yang
menghalangi kemungkinan makna yang dikehendaki adalah makna hakiki.
Contoh lain seperti
syi`ir Al-Bukhturi dalam mensifati duel antara Fath bin Khaqan dengan seekor
singa :
”aku belum
pernah melihat perkelahian dua singa yang lebih sungguh-sungguh darpada kamu
berdua (Fath dan Singa), ketika orang-orang penakut dan lemah itu tidak berani
menghadapinya
singa lawan
singa, yaitu singa dari kaum bertarung melawan singa sungguhan , dan ia dapat
mengalahkannya.”
Dalam syi`ir Bukhturi ini kita melihat adanya kata hizabrun yang juga memiliki dua buah
makna; makna pertama berarti makna hakiki yaitu singa sebagiman yang kita
kenal, makna kedua adalah orang yang pemberani. Makna kedua ini dapat kita
peroleh karena adanya qarinah yang
menunjukkan bahwa itu bukanlah makna hakiki yaitu lafadz min al-qaum yang menunjukkan bahwa maknanya adalah orang yang
pemberani.
c.
al-Kinayah yaitu menginginkan sebuah
makna akan tetepi mengungkapkannya dengan lafazd yang sebenarnya bukan makna
hakkiki lafadz itu tujuannya.[23]
Contohnya Al-Khansa[24]
berkata tentangsaudara laki-lakinya, Shakhr:
”ia adlaah orang
yang panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi, dan banyak abu dapurnya bila ia
bermukim.”[25]
- Dari Sisi Ilmu Badi`
Ilmu Badii’ adalah ilmu yang
mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.
Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.[26]
Dari
segi ilmu badi` ini akan dikemukakan bebrapa syi`ir Arab yang berkenaan
dengannya, agar kita lebih mendekati pemahaman dan pembuktian bahwa syi`ir Arab
itu banyak juga yang mengandung kajian ilmu badi` di dalamnya. Sebagai contoh
seperti syi`ir yang menunjukkan suatu ratapan terhadap anak kecil yang bernama
Yahya:
”dan aku memberinya nama Yahya agar dia
senantiasa hidup, namun tidak ada jalan untuk menolak perintah Allah padanya”[27]
Dalam
syi`ir di atas kita temui dua buah kata yang sebenarnya memiliki makna yang
berbeda, yaitu kata yahya yang
berarti seorang anak yang bernama Yahya dan kata liyahya yang bermakna
merupakan harapan dan do`a agar anak yang bernama Yahya tadi tetap hidup.
Dalam
kajian ilmu badi` yang sama persis macam hurufnya, syakalnya (baris hurufnya),
jumlahnya (ismiyah atau fi`liyah), dan urutannya disebur sebagai jinas taam (kemiripan yang sempurna),
bertolak belakang dengan jinas ghairu
taam yaitu perbedaan dua buah kata dalam salah satu dari empat hal tersebut.
Kita lihat lagi dalam contoh dia atas dia merupakan bagian dari jinas taam karena persis sama antara
huruf, syakal, dan jumlahnya.
Contoh
lain seperti Al-Khunsa` meratapi saudaranya Sakhr dengan kasidahnya dalam
potongan berikut:
”sesungguhnya tangisan itu obat bagi kesedihan
mendalam yang terdapat di antar tulang rusuk”
Dari
contoh ini kita melihat ada dua buah kata yang agak berdekatan, yaitu kata jawa yang memiliki makna kesedihan yang
mendalam dan kata jawaanih yang
bermakna tulang rusuk. Dari dua kata ini merupakan contoh dari jinas ghairu taam, karena adanya
perbedaan dari segi macam hurufnya, dan jumlahnya.
A. Kesimpulan
Melantunkan syi`ir
merupakan suatu kebiasaan yang nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan bangsa
Arab, karena memang mereka sangat suka melantunkan syi`ir dan telah menjadi
suatu kebiasaan yang bersifat
tradisional karena dipengaruhi
oleh lingkungan hidup dan kehidupan mereka serta bahasa mereka yang puitis dan
lisan mereka yang fasih.
Tidak diragukan lagi
dengan kefasihan dan keindahan bahasa mereka kita aklan menemukan berbagai
uslub (gaya bahasa) syi`ir mereka yang berbentuk majazi,
perumpamaan-perumpamaan, kata-kata sindiran, dan berbagai gaya bahasa yang
masuk ke dalam kategori kajian ilmu balaghah. Hal ini terlihat seperti dalam
syi`rnya Al-Khunsa`, Ibnu Al-`Amid, Al-Bukhturi, dan lainnya yang merupakan
penya`ir-penyai`r yang terkenal pada masa mereka.
[2] Mas’an Hamid, yang dikutib
dari Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Jawahirul Adab, juz II, DArul-Fikri, cet. ke 26,
Mesir, 1965, hal.24
[3] Ibid, hal. 10
[4] Ali bin Muhammad bin Ali Aljurjani, at-Ta`rifaat, (Beirut: Dar
Alkitaab al-`Arabi, 1992), hal. 162
[6] Maksum, Pengaruh Islam Terhadap Sastra Arab: Studi Analisis Terhadap Syi`ir
Hassan Bin Tsabit, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hal. 18
[7] Ahmad Asyayib, Alusluub: Kajian
Analisis Balaghah ter hadap dasar gaya bahasa sastra, cet. Ke- 8, (Maktabah Nahdhah Al-Mishriyah, Kairo: 1990), hal.19
[8] Imam Akhdori, Alih Bahasa oleh H. Moch Anwar, Ilmu Balaghah: Tarjamah Jauharu Al-Maknuun,Cet
I, (PT Alma`arif, Subang: 1982), hal
17
[9] Ilmu
Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya,
ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa
al-haal.
[10] Secara bahasa Ilmu Bayan berarti
jelas, terang, nyata. Sedangkan secara terminologi Ilmu Bayan diartikan
sebagimana berikut:
علم
يقواعد تعرف يها طرق إيراد المعنى الواحد بطرق أو أساليب مختلفة في وضوح
الدلالة على ذالك المعنى .
”Ilmu untuk mengetahui untuk mendatangkan
sebuah arti dengan cara atau gaya bahasa yang berbeda
dalam menjelaskan makna sesuatu yang
dimaksud.”
[11] Ilmu Badii’ : ilmu yang
mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.
Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.
[12] Sukron Kamil, Teori Kritik
Sastra Arab: Klasik dan Modern, ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), Hal.52.
[13] Ahmad Busyrawi , Madkhal Ila
Manahij an-Naqdi al-Adabi (Padang:Haifa
Pers, 2009), hal.73
[14] Abdurrahman Al-Ahdhari, Jauhar
al-Maknuun, (Surabaya: Maktab al-Hiadyah, t.th), hal 30
[15] Sukron Kamil, Op.Cit., hal. 113- 114.
[16] Ibid , hal. 114. dari berbagai factor inilah
banyak kita lihat syi`ir ataupun prosa yang muncul untuk menggambarkan
bagaimana keadaan alam tempat dia tinggal, menggambarkan keadaan sosial-budaya,
pujian terhadapa rajanya, pujian terhadapa kepahlawanan seseoranga, dan lain-lain……
[17] Arnisma Agus, al-Balaghah al-Muyassarah : Ilmu
Bayan (Padang: Disusun oleh Pusat Kajian
Ilmu Balaghah Fakultas Adab IAIAN Imam Bonjol Padang, 2009) hal. 11
[18] Abi Abdillah al-Husain bin Ahmad bin Huzain al-Zuwazni, Syarah Mu`allaqat as-Sab`ah, (Libanon:
Dar Kitab al-`Alamiyah, 1978), hal 14-16
[19] Ahmad Al-Iskandari, dkk, Alwasith Fi al-Adab al-`Arabi Wa
Tarikhuhu, (T.p: Dar al-Ma`arif, 1978), hal267
[20] Jawahir al-Balaghah, hal. 302
[21] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan
oleh Mujiyo Nurkhalis dkk , cet ke-7 (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2007), hal 92
[22] Ibid, hal. 92
[23] Arnisma Agus, Op.Cit. hal 97
[24] Al-Khansa adalah Tumadhir binti Amr, masuk islam bersama kaumnya,
wafat pada tahun 54 H.
[25] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan
oleh Mujiyo Nurkhalis dkk , Op.Cit., hal
173
[26]http://www.pdf-search-engine.com/ilmu-balaghah-sebagai-cabang-html-library.
usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah4.html
[27] Ali al-Jarim dan MusthafaUsman, Al-Balaghah Al-Wadhihah, terjemahan
oleh Mujiyo Nurkhalis dkk , Op.Cit.,
hal. 378
Tidak ada komentar:
Posting Komentar